Oleh: Dr. Erta Priadi Wirawijaya SpJP (Dokter, kardiolog, pemerhati masalah kesehatan)
BPJS defisit lagi di tahun ke 5 beroperasi, katanya tahun ini akan defisit 28 Trilyun. Menteri Keuangan sudah mulai frustasi soal defisit ini, bahkan belum lama ini berkomentar bahwa beliau bukan Menteri Keuangan Kesehatan (saja). BPJS seharusnya tidak membebani pemerintah dengan defisit berkepenjangan.
Pembiayaan kesehatan harus lebih efisien katanya, salah satu upaya untuk menekan anggaran BPJS adalah dengan menyesuaikan/menurunkan kelas RS. RS yang kelasnya diturunkan harus mengembalikan sejumlah dana karena lebih bayar. Aduh bu dengan tarif InaCBGs saat ini saja, banyak dokter yang kesulitan menyesuaikan pengobatan dengan anggaran / tarif InaCBGs. Nilainya sudah 4 tahun tidak jauh berbeda, sementara inflasi terus berjalan. Kalau kelas RS pada turun, tarif InaCBGs ikutan turun, nanti para dokter semakin kesulitan untuk mengobati pasien.
Kalau kita mau bandingkan sistem kesehatan Universal di Indonesia dengan sistem serupa di negara lain dari segi besaran biaya itu sebenarnya sudah murah, kalau ditekan agar lebih murah lagi, bukan efesiensi yang akan dicapai tapi meningkatnya angka kematian akibat layanan kesehatan yang semakin substandar.
Coba kita lihat sistem jaminan sosial di negara lain. Dulu pernah ada film dokumenter tentang sistem jaminan kesehatan di Eropa, yang diliput saat itu adalah National Health Service atau NHS Inggris.
Disitu diliput bahwa ternyata Inggris menjadi tujuan banyak orang mencari kesembuhan. Salah satu pasiennya ternyata adalah anak seorang warganegara Indonesia, katanya anaknya sakit leukemia, suaminya memutuskan bekerja di Inggris lantas membawa anaknya untuk berobat ke sana. Di Inggris anaknya mendapatkan cangkok sumsum tulang dan akhirnya selamat.
Di Indonesia cangkok sumsum tulang secara teori ditanggung pembiayaannya oleh BPJS, ada di tarif InaCBGs nya, nilainya sekitar 37 juta sampai dengan 76,7 juta rupiah (kelas 3) atau 52-107 juta rupiah (kelas 1) untuk RS Kelas A. Sementara itu biaya normal tindakan ini setidaknya sekitar 1,5 Milyar. Jika mau dikerjakan di Indonesia aturannya adalah penerima bantuan iuran tidak boleh nambah, sementara kelas 1, boleh naik VIP dan maksimal boleh menambah 75% dari tarif InaCBGs, dan itu tetap jauh (sekali) dari cukup.
Ini sistem yang sangat tidak masuk akal, akibatnya tindakan itu (dan banyak sekali tindakan lainnya) tidak bisa dikerjakan di Indonesia menggunakan BPJS. Mungkin karena itu ibu dalam film dokumenter diatas memilih untuk pindah ke Inggris agar anaknya bisa mendapatkan operasinya.
Karena katanya sistem kesehatannya bagus saya tertarik cari informasi kira-kira berapa anggaran kesehatan Inggris. Ternyata untuk tahun 2018 pemerintah Inggris menghabiskan 114,6 milyar poundsterling atau sekitar 2010 Trilyun untuk anggaran NHS. Dengan jumlah sebanyak itu ternyata NHS masih defisit sebesar 966 juta pound atau sekitar 17 Trilyun, dan defisitnya ditutup oleh pemerintah. Untuk sebuah negara yang sistem kesehatannya sudah bagus seperti Inggris nyatanya anggaran kesehatannya dari tahun ke tahun selalu defisit.
Padahal kita tahu anggaran kesehatan inggris ini dihitung benar sesuai aktuaria. Jadi tidak aneh jika anggaran BPJS yang dihitung lebih rendah dari kebutuhan akturia itu defisit. Yang justru aneh menurut saya adalah nilai klaim keseluruhan BPJS, penduduk yang penduduknya 5x lebih banyak dari Inggris tapi anggaran total yang dikeluarkan oleh BPJS hanya 1/20 dari yang dikeluarkan Inggris.
Kita coba hitung ya 2026T untuk 64,7 juta orang, artinya pemerintah Inggris menganggarkan sekitar 31,3 juta/tahun untuk setiap penduduknya. Kalau misalnya ini pembiayaan kesehatan ini mau ditutupi dengan sistem iuran, maka setiap orang harus membayar sekitar 150 pound atau 2,6 juta per bulan.
Bagaimana dengan BPJS? Total klaim yang dibayarkan BPJS untuk 2018 adalah sekitar 94,6 Trilyun, dengan jumlah peserta sebanyak 196,6 juta orang. Dengan klaim sebesar itu artinya setiap orang menghabiskan sekitar 481 ribu rupiah / tahun atau sekitar 40 ribu/orang/bulan. Jauh lebih rendah dari apa yang dikeluarkan rata-rata orang Inggris untuk NHS.
Ok tentunya kita tidak bisa bandingkan Inggris dengan Indonesia, secara pendapatan perkapita nya juga beda jauh. Kalau begitu kita coba seimbangkan pengeluaran kesehatan ini berdasarkan hal itu. Inggris pendapatan perkapitanya sekitar 42986 USD/orang/tahun, Indonesia hanya 4284 USD/orang/tahun, artinya pendapatan perkapita mereka sekitar 10x Indonesia. Jadi kalau kita ingin anggaran kesehatan kita sepadan dengan Inggris, maka seharusnya iuran BPJS itu sekitar 260 ribu/orang/bulan.
Aduh jangan dibandingkan dengan Inggris, kejauhan mikirnya. Ok kita coba bandingkan dengan negara tetangga kita Malaysia deh. Sudah banyak yang bilang kan kalau jalan-jalan ke Malaysia biaya hidupnya sebanding dengan Indonesia, beberapa bahkan bilang lebih murah hidup disana dibandingkan hidup di Jakarta. Biaya berobat di Malaysia pun katanya lebih murah dibandingkan Indonesia (disana alkes dan obat bebas pajak).
Saya temukan data tahun 2017, saat itu untuk sistem jaminan kesehatan universalnya pemerintah Malaysia mengeluarkan anggaran sekitar 6.75 milyar USD, atau sekitar 96,3 Trilyun rupiah. Penduduk Malaysia saaat itu 31.6 juta orang. Maka per orang menghabiskan biaya sekitar 3,047 juta/orang/tahun atau 254 ribu/orang/tahun. Kita sesuaikan lagi dengan GDP dan pendapatan perkapita. Pendapatan perkapita Malaysia sekitar 12110 USD/orang/tahun, atau sekitar 2,8x Indonesia.
Maka pengeluaran kesehatan per orang setelah disesuaikan sekitar 1,088 juta/orang/tahun atau sekitar 90.7 ribu/orang per bulan. Jadi kalau kita coba simpulkan, biaya kesehatan Indonesia saat ini ada di kisaran 40 ribu/orang/bulan. Malaysia sekitar 254 ribu/orang/bulan. Inggris sekitar 2.6 juta/orang/bulan. Setelah disesuikan dengan GDP, pengeluaran kesehatan Malaysia sekitar 90 ribu/orang/bulan, Inggris sekitar 260 ribu/bulan.
Jadi bisa disimpulkan sebenarnya ada gap pengeluaran kesehatan yang cukup besar antara Indonesia dengan Malaysia, apalagi dengan Inggris.
Hal ini mungkin terjadi karena fasilitas kesehatan yang masih dimiliki Indonesia masih terbatas. Tidak semua pasien bisa mendapatkan layanan kesehatan yang seharusnya didapat. Seperti tindakan pemasangan stent jantung misalnya, senter yang bisa melakukannya masih terbatas, sehingga tidak bisa semua pasien yang mengalami serangan jantung mendapatkan hal ini.
Pemberian obat peluruh gumpalan darah untuk kasus stroke dan serangan jantung pun tidak bisa diberikan rutin karena keterbatasan tarif InaCBGs. Beberapa tindakan berbiaya tinggi pun tarifnya dibuat minim sehingga tindakannya harus disubsidi RS. Semua keterbatasan ini mengakibatkan dokter tidak bisa optimal menerapkan ilmu yang dimilikinya.
Ironisnya walau anggaran untuk pembiayaan kesehatan Indonesia ini relatif jauh lebih rendah dibandingkan negara tetangga, pemerintah masih beranggapan bahwa ini nilainya terlalu tinggi sehingga harus ditekan lagi. Kelas RS harus diturunkan untuk efesiensi.
Tarif perawatan tidak kunjung naik atau tidak jauh berbeda setelah sistem 5 tahun berjalan. Pemerintah dalam hal ini menteri keuangan bahkan berkeinginan kalau bisa BPJS jangan defisit lagi. Itu mimpi. Inggris saja yang anggarannya 6-7x lebih besar saja selalu defisit.
Dokter Indonesia sebenarnya ingin bekerja maksimal sesuai standar keilmuan yang dimilikinya. Tapi itu menjadi mustahil dilakukan di era JKN. Selalu ada plafon terbatas yang mengakibatkan tindakan atau pemberian obat tidak bisa diberikan. Mau sampai kapan hal ini dibiarkan?
Dulu ada pepatah yang bilang “Kesehatan itu mahal” dan itu ada benarnya, kalau layanan kesehatan dibuat murah secara irasional seperti ini maka yang didapat bukanlah sehat, tapi meningkatnya angka kecacatan dan kematian akibat layanan kesehatan yang substandar. []