Oleh: Fathul Rakhman *
Kala kita membuka laporan tentang kondisi “kesehatan” bangsa kita, maka cuma orang tidak berperasaan lah yang mampu untuk membaca sampai tuntas laporan tersebut. Bagaimana tidak ketika kita membuka laporan tentang kondisi “tubuhnya” kita akan mendapatkan laporan tentang berbagai macam penyakit menular yang menggerogoti tubuh bangsa kita.
Laporan bayi yang meninggal akibat Demam Berdarah hampir setiap musim pancaroba kita mendengar, masyarakat yang terserang muntaber setiap saat kita bisa dengar laporannya dari media, malahan muncul kembali flu burung yang membuat resah bangsa ini, dan yang cukup “spektakuler” kita dengar adalah munculnya kembali polio dan kejadian busung lapar.
Polio dari tahun 1990-an sudah digembar-gemborkan bahwa sudah musnah dari bumi kita, namun kini ia datang kembali menyadarkan kita dari kesombongan. Busung lapar adalah berita yang sangat menyedihkan dan sangat memalukan mengingat negara kita – konon katanya- kaya dengan sumberdaya alam sehingga sampai tujuh keturunan pun masih banyak persediaan.
Kemudian kalau kita membuka lembaran berikutnya tentang kondisi “psikis” bangsa kita lebih menyedihkan lagi. Korupsi sudah menjadi tradisi yang “wajib” diturunkan dari generasi ke generasi, kerusuhan SARA kembali unjuk gigi setelah beberapa waktu istirahat untuk mengumpulkan energi, kemiskinan sudah menjadi hal biasa kita lihat, kebodohan sudah dianggap lumrah bagi yang tidak bersekolah. Kita sudah tidak tahan lagi untuk membuka lembaran-lembaran berikutnya.
Di tengah ketakutan untuk membaca tuntas seluruh hasil laporan tersebut, tiba-tiba kita dikejutkan kembali oleh munculnya fatwa sesat dari pihak yang merasa memegang otoritas kebenaran Tuhan. Kembali kekerasan terjadi antar sesama ummat.
*****
Kalau kita melihat data penduduk bangsa ini, amat menggembirakan jika 90% lebih penduduknya beragama Islam. Seperti kita ketahui Islam adalah sebuah peradaban maha dahsyat yang mampu merubah kebudayaan dunia yang gelap gulita sehingga mampu menikmati setitik cahaya. Tapi kekecewaan muncul ketika tahu ternyata kita tidak bisa berbuat apa-apa. Keagungan Islam hanya sekedar cerita masa lalu yang kemudian sedang dalam proses penyimpanan di dalam lemari besi. Lalu kemudian siapa yang bertanggungjawab terhadap masalah ini ?
Susah memang untuk mengatakan siapa yang bertanggung jawab, bangsa kita ini terlalu kompleks untuk kemudian melemparkan tanggungjawab pada kelompok tertentu. Tentu kita tidak bisa menuding pemerintah,(ingat orang-orang di pemerintahan sebagian besar juga Muslim). Sedangkan ketika kita limpahkan pada masyarakat, ah ibarat mengharapkan rejeki datang langsung dari langit. Masyarakat kita terlalu cepat pasrah!
Pemerintah pun lebih asyik mengkorup anggaran, anggaran kesehatan yang sedianya minimal 5 % dari anggaran tapi kita cuma beraninya 2 – 3 % saja, itupun masih ada acara sunat sana sunat sini. Belum lagi pendidikan yang kian tak terjangkau, padahal sebagai bangsa yang beradab pendidikan semestinya menjadi sorotan utama. Janji –janji saat kampanye untuk 20% anggaran pendidikan, tetapi nayali kita ciut saat hanya berani memasang patok 6 % saja, dan sekali lagi masih ada sunat sana sunat sini.
Jadi tidak heran jika penyakit fisik dan psikis yang melanda bangsa kita makin parah. Bisa jadi busung lapar,polio,flu burung sebagai “utusan Tuhan” untuk membangunkan kita dari tidur yang panjang. Kita tidak pernah mau bangun untuk kemudian membangun bangsa yang morat-marit ini, kita masih enak terbuai dalam mimpi-mimpi indah.
*****
Ketika kita ingin memperbaiki bangsa ini terlebih dahulu bangunkanlah orang-orang yang masih tidur di bangsa ini. Bangunkanlah mereka agar mereka mau merombak budaya yang lesu, gantilah dengan budaya Islam yang progresif. Karena Islam mengajarkan amar ma’ruf dan nahi munkar maka umat pun akan terpanggil untuk berlomba-lomba. Ingat bangsa kita ini merupakan pemberian Tuhan, yang kemudian manusia diberikan tanggungjawab untuk menjaganya.
Kita juga harus membangunkan pejabat-pejabat yang masih tidur, bangunkanlah mereka, ajak mereka mengelilingi seluruh pelosok bangsa ini agar mereka dapat melihat kondisi bangsa ini. Beri semangat pada mereka agar mau memihak pada masyarakat miskin, berikanlah mereka peringatan bahwa mereka telah menjadi orang-orang yang mendustakan agama, mereka membiarkan orang miskin kelaparan, anak yatim terlunta-lunta.
Masyarakat, pejabat, agamawan kini sudah saatnya bergandengan tangan untuk mengatasi penyakit bangsa ini. Agamawan jangan hanya larut dalam shalat saja,memikirkan surga – neraka saja, sekali-kali pikirkanlah orang miskin, busung lapar dan tegasnya pikirkanlah dunia.
Turunnya Islam ke dunia bukankah sebagai jawaban atas persoalan – persoalan kemanusiaan? Islam menjawab perbudakan, kemiskinan, penindasan lalu kenapa kita berani-beraninya menafsirkan Islam hanya sebagai persoalan ke – Tuhan – an saja. Memang betul Islam adalah persoalan ke-Tuhan-an, namun sebagai manifestasi bahwa kita ber – Tuhan, maka kita harus menjalankan pesan-pesan Tuhan.
***
Tentunya untuk mengubah bangsa ini menjadi lebih baik, membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang panjang. Kita bisa memulainya dari diri kita sendiri, kita rubah paradigma kita selama ini. Paradigma Islam selama ini yang kita pahami sebagai perkara Teosentris saja, kita harus bisa menariknya agar memberikan jawaban terhadap persoalan – persoalan yang terjadi di bumi.
Kita jadikan teks suci kita sebagai spirit, sebagai dasar pijakan, dan sebagai legitimasi bahwa benar kita sedang menjalankan perintah Tuhan. Ketika paradigma kita sudah kita ubah niscaya juga akan mengubah pola tindak kita dalam memandang realitas di masyarakat. Persoalan – persolan yang terjadi di masyarakat adalah merupakan tanggungjawab kita untuk ambil bagian dalam menyelesaikannya, bukankah kita mau menjalankan perintah Tuhan.
Patut disyukuri bahwa bangsa kita dihuni oleh saudara – saudara Muslim, kuantitas ini bisa menjadi potensi besar dalam arah memberdayakan ummat ke arah lebih baik. Di ormas – ormas Islam sudah saatnya menjadi isu yang wajib bagi ummat, yakni isu-isu kemiskinan, isu-isu kesehatan, isu kenaikan BBM, isu globalisasi.
Tradisi tetap kita pegang, tapi jangan lupa kita hidup di dunia yang senantiasa berubah. Ummat perlu kita “cuci otak” mereka agar lebih peka pada persoalan kemanusiaan, agamawan harus terus berijtihad dalam persoalan-persoalan sosial, kita harus vokal dalam menyikapi setiap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat, kita harus punya rancangan alternatif untuk menjawab persoalan bangsa. Dan tentunya semua hal itu bisa terwujud ketika kita umat Islam bisa BERSATU!
Kita kunci mulut kita untuk berdebat pada persoalan-persolan yang tidak penting, bersikap lapang dada menghadapi perbedaan, dan tidak perlu lah kita mengambil tugas Tuhan untuk menghukum orang “sesat”.
Biarlah Tuhan nanti yang menilai, sekarang kita kerjakan hal yang nyata di depan mata kita, harus segera dikerjakan karena penyakit ini perlahan –lahan menggergoti bangsa kita. Tentu kita tidak ingin bangsa ini mati akibat penyakit ini khan?. Mari kita suntikkan vaksin dalam tubuh bangsa ini agar ia kebal terhadap segala penyakit. Vaksin ini dikenal dengan nama Persatuan.
*Fathul Rakhman. Kontributor LKPK Indonesia. Penggiat Jaringan Masyarakat Marginal (JMM) Lombok